Dibalik Cireng Isi
Pagi ini aku bertemu dengan bapak penjual cireng isi. Kebetulan lewat depan kostan. Sebenarnya aku keluar kostan pun bingung ingin membeli apa untuk sarapan. Tapi entah kenapa seperti tergerak untuk keluar kostan. Hingga akhirnya aku membeli cireng yang lewat depan mata.
"Neng cireng? bapak itu mendekat sembari menawarkan dagangannya. Aku tertarik karena baru menemukan penjual cireng isi disini
“Oh
iya pak, berapaan?”
“2
ribuan neng”
“Oh
yaudah pak, 10 aja”
“Neng, tunggu
ya. Minyak nya dingin, dipanasin dulu”
“Oh iya pak,
gak apa-apa”
“Sepi sekarang
dimana-mana, pada takut ketularan”
“Iya pak.” Aku
akhiri dengan senyum.
Untuk beberapa
saat kami belum berbincang. Hingga kemudian bapak itu yang memulai percakapan.
“Neng sunda
apa jawa?”
“Sunda pak”
“Oh sunda. Sunda
na palih mana neng? (Sundanya sebelah mana neng)” mulailah percakapan
dengan bahasa sunda. Gak tau kenapa, kalau ketemu orang sunda disini, ngerasa
bahagia.
“Abdi ti Sukabumi
Pak (Saya dari Sukabumi Pak)”
“Oh, Neng di
cisaat?”
“Sanes pak,
abdi di kota na. Lewat Cisaat. Bapak kapungkur ti Cisaat? (Bukan pak, saya
di kotanya. Melewati Cisaat. Bapak juga dari Cisaat)”
“Kakak ipar
abdi neng. Pas pisan di Cisaat-na. Eneng sok uih dina kareta berarti nya?
(Kakak ipar saya neng. Pas banget di Cisaat. Eneng suka pulang pakai kereta ya)”
“Muhun Pak,
hehe. Ari bapak timana? (Iya Pak, hehe. Kalau Bapak dari mana)”
“Abdi mah
ti Kuningan neng (Saya dari Kuningan neng)”
“Oh, tebih
atuh. Bapak linggih dimana? (Oh, jauh. Bapak tinggal dimana)”
“Di Cikoko Barat 2 palih dinya, caket TK Al-Wafi. (Di Cikoko Barat 2 sebelah sana, deket TK Al-Wafi”
“Di Cikoko Barat 2 palih dinya, caket TK Al-Wafi. (Di Cikoko Barat 2 sebelah sana, deket TK Al-Wafi”
“Tapi abdi
ge teu pati terang daerah dieu sih pak, hehe (Tapi saya juga gak terlalu
tau daerah sini sih pak, hehe)”
Kami
terus bercakap-cakap. Katanya Bapak pertama kali ke Jakarta tinggal di Cikoko
selama 15 tahun. Kemudian pindah ke Jakarta bagian lain. Lalu pindah lagi
kesini. Awalnya Bapak berjualan nasi. Hingga lapaknya berjualan dibangun hotel
dan menjadi pedagang cireng keliling. (Satu sisi ini yang membuat aku merasa
bersalah karena kerja di perusahaan kontraktor).
Dari
awal mula bertemu bapak ini, sudah terlihat jelas sekali di wajahnya, kalau
akhir-akhir ini penghasilan beliau tidak seperti biasanya. Bisa dipastikan
karena seminggu kemarin sekolah libur. Tentunya, anak sekolah yang biasanya
jajan sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi kalau bukan akibat dari masifnya penyebaran
virus Covid-19.
Bapak
punya tiga orang anak. Anak pertama sudah lulus S1 dan bekerja di Bank. Anak
kedua masih kuliah semester 4. Dan anak terakhir masih sekolah.
Bapak bilang,
“Seueur biaya-eun teh neng, tapi da bapak mah ngan tiasa kieu atuh (Banyak
yang perlu dibiaya-in neng, tapi bapak Cuma bisa dagang seperti ini aja).”
“Justru
Alhamdulillah Pak, Bapak tiasa keneh nga-biaya-an putra bapak kuliah. Da rejeki
mah aya wae (Justru Alhamdulillah Pak, Bapak masih bisa membiayai anak
bapak kuliah. Rezeki kan selalu ada)”
“Muhun
neng. Putra bapak ge yuswana tos 27 taun, tapi geuning meuni teu aya anu deket
teh. Padahal loba anu resepen teh. Ngan kitu we geuning. (Iya neng. Anak bapak
umurnya udah 27 tahun. Tapi gak ada yang deket. Padahal banyak yang suka. Tapi malah
kayak gitu)” Maksud Bapak anaknya belum deket sama perempuan.
Aku tertawa ringan, “Da pasti hoyong fokus damel heula meureun pak. Kanggo keluarga (Pasti mau fokus kerja dulu pak. Buat keluarga)”
Aku tertawa ringan, “Da pasti hoyong fokus damel heula meureun pak. Kanggo keluarga (Pasti mau fokus kerja dulu pak. Buat keluarga)”
“Da
saur na teh aya keneh dua adi anu kudu di biaya-an. Bapak ge da piraku teu
damel mah, da masih bisa damel (Kata dia masih ada dua adik yang harus
dibiayai. Ya, masa Bapak gak kerja, Bapak kan masih bisa kerja)” Bapak itu
menambahkan.
“Ari
bapak yuswana sabaraha? (Kalau bapak umurnya berapa)”
“Abdi
tos 56 taun neng (Saya udah 56 tahun neng)”
“Atuh
alhamdulillah pak, jagjag keneh (Alhamdulillah pak, masih kuat)”
“Muhun
neng, da lamun Bapak uih ka kampung oge pasti nyangkul di sawah. Bapa mah da
orang kampung. Naon deui atuh (Iya neng, kalau Bapak pulang ke kampung juga
pasti nyangkul di sawah. Bapak kan cuma orang kampung. Mau ngapain lagi)”
“Nyaeta
pak, da teu genah oge mun di bumi ngan cicing hungkul (Iya pak, gak enak
juga kalau di rumah Cuma diem aja)”
“Doakeun
abdi nya neng, sing kengeng lapak kanggo icalan nasi deui (Doakan saya ya
neng, semoga bapak dapet lapak buat jualan nasi lagi)”
“Aamiin
pak, aamiin."
Setelah ini Bapak berbicara satu hal yang membuat hatiku terenyuh. Serasa ditampar bulak-balik.
Setelah ini Bapak berbicara satu hal yang membuat hatiku terenyuh. Serasa ditampar bulak-balik.
“Bapak
mah mun damel teh da tara menta nu sanes, niat bapak mah ibadah we. Tinggal
Gusti Allah anu masihan rejeki na (Bapak kalau kerja gak suka minta muluk-muluk,
niat bapak untuk ibadah. Selanjutnya Allah yang akan kasih rezekinya)”
“Muhun
pak (Iya pak)” hanya itu responku.
Hati
dan pikiranku berkecamuk saat itu juga. Apakah aku sudah se-tawakkal itu?
Tak
lama kemudian, cireng pesananku sudah matang. Setelah bertransaksi kami
sama-sama mengucapkan terimakasih. Lalu aku kembali ke kostan.
Sampai
di kamar aku pandangi cireng itu. Kemudian aku coba makan. Entah kapan terakhir
kali aku makan cireng isi, dan beneran enak. Bukan hanya soal rasa. Ada ikhlas
dan tawakkalnya Bapak Cireng dalam setiap cireng yang aku makan.
Yang
aku garis bawahi dari Bapak penjual cireng adalah tentang niatnya hanya untuk
beribadah. Tentang ikhlas dan tawakkal, ditambah dengan keyakinan bahwa Allah
yang akan memberi rezeki. Sesulit apapun keadaan yang sedang dialami.
Mungkin
ini terkesan hiperbola, tapi di setiap cireng yang dia jual didalamnya ada
ikhtiar, doa, keihklasan dan tawakkal yang selalu menjadi tumpuan. Menjadikan
keyakinan bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Aku
jadi ingat pesan Bapakku, Bapak Teristimewa-ku, Mr. Deni Ramdani,
“Teh,
cari ilmu itu gak mesti selalu lewat perkuliahan atau kajian. Kadang saat perjalanan ke
pengajian banyak ilmu yang di dapet. Kamu tau tujuan dakwah yang sebenarnya itu
apa? Bukan supaya kita mendakwahi orang lain. Tapi untuk mendakwahi diri
sendiri, supaya lebih baik lagi. Percuma kalau kamu fokus buat dakwah-in orang
lain, tapi diri sendiri masih gitu-gitu aja”
This
is a deep message, yang bikin aku ketampar. Lewat Bapak cireng, pesan itu
muncul lagi ke permukaan. Ilmu kehidupan jauh lebih mahal dan tidak bisa
dibandingkan dengan materi, dibanding dengan ilmu manapun.
Di
tengah pandemik yang terus menyebar secara masif. Setelah kita berikhtiar,
senjata utama lainnya adalah terus berdoa. Diluar sana masih banyak masyarakat
yang bernasib sama seperti Bapak Cireng, atau bahkan lebih tidak baik lagi.
Pekerja harian yang pemasukkannya cukup untuk besok makan. Itu pun tidak pasti.
Apa
kabarnya dengan aku yang nasibnya lebih baik, tapi terus khawatir akan hari
esok? Apa kabar dengan aku yang gelisah dan takut kepada kehidupan dunia?
Aku masih jauh dari baik. Aku juga bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin membagikan apa yang aku alami. Semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita semua.
Oh iya, aku tulis ini untuk mengisi kegabutanku. Maaf juga aku lupa tanya siapa nama Bapak Penjual Cireng tadi, hehe.
Aku masih jauh dari baik. Aku juga bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin membagikan apa yang aku alami. Semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita semua.
Oh iya, aku tulis ini untuk mengisi kegabutanku. Maaf juga aku lupa tanya siapa nama Bapak Penjual Cireng tadi, hehe.
Motivasi hari ini ❣️❣️❣️
ReplyDeleteSemangat kasih motivasi buat orang lain 😍😍😍
ReplyDelete